Kalimantan Selatan dalam Cengkeraman Banjir: Krisis yang Terus Berulang
Kabar duka kembali menyelimuti Bumi Lambung Mangkurat. Kalimantan Selatan, sebuah provinsi yang kaya akan sumber daya alam dan budaya, sekali lagi terendam banjir besar. Setelah diguyur hujan lebat yang tak kunjung henti selama beberapa hari, sungai-sungai utama meluap, memuntahkan airnya ke pemukiman dan lahan pertanian. Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Tengah, dan Tanah Laut menjadi garda terdepan wilayah yang paling merasakan dampaknya. Ribuan keluarga harus menghadapi kenyataan pahit rumah mereka terendam, dengan ketinggian air yang bervariasi, memaksa ratusan jiwa mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman yang telah disiapkan oleh pemerintah daerah.
Situasi ini bukanlah kejadian tunggal. Curah hujan ekstrem yang melanda sejak awal pekan telah membuat kapasitas sungai-sungai vital seperti Sungai Martapura dan Sungai Amandit tak mampu menampung debit air yang masif. Kondisi diperparah oleh tanah yang sudah jenuh air dari hujan sebelumnya, menciptakan skenario sempurna bagi banjir untuk meluas dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Fenomena ini mengingatkan kita akan kerapuhan ekosistem dan urgensi penanganan yang lebih serius.
Menguak Akar Permasalahan: Mengapa Banjir Terus Melanda?
Banjir di Kalimantan Selatan bukanlah sekadar akibat hujan deras biasa. Ada beberapa faktor kompleks yang saling berkaitan, menciptakan kondisi rentan terhadap bencana hidrometeorologi ini:
🌧️ Intensitas Curah Hujan yang Meningkat Drastis
Musim penghujan kini datang dengan wajah yang berbeda. Intensitas dan durasi hujan yang jauh melampaui rata-rata normal menyebabkan debit air sungai meningkat secara eksponensial. Ini bisa jadi indikasi perubahan pola iklim yang lebih ekstrem, menuntut kita untuk beradaptasi dengan realitas cuaca yang semakin tidak terduga.
🌲 Transformasi Lahan yang Masif: Beralihnya Hutan Menjadi Ancaman
Kalimantan Selatan telah lama menjadi saksi bisu perubahan fungsi lahan yang dramatis. Kawasan hutan primer dan sekunder, yang seharusnya berfungsi sebagai spons alami penyerap air, kini banyak beralih fungsi menjadi lahan pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Praktik ini secara signifikan mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan, menyebabkan air langsung mengalir ke sungai, mempercepat luapan, dan membawa material erosi yang dangkal ke dasar sungai.
🏘️ Pertumbuhan Pemukiman di Zona Risiko Tinggi
Ironisnya, banyak pemukiman padat penduduk justru dibangun sangat dekat dengan bantaran sungai, bahkan di daerah dataran rendah yang secara historis merupakan area genangan alami. Perencanaan tata ruang yang kurang matang dan minimnya edukasi mengenai risiko bencana telah menjadikan ribuan keluarga rentan setiap kali sungai meluap. Mereka yang seharusnya mendapatkan perlindungan, justru menjadi yang pertama terdampak.
Luka yang Menganga: Dampak Multidimensional bagi Masyarakat
Setiap kali banjir datang, ia meninggalkan jejak penderitaan dan kerugian yang mendalam bagi masyarakat:
Pengungsian Massal dan Trauma Psikologis: Ribuan warga kehilangan tempat tinggal sementara, terpaksa pindah ke posko pengungsian. Tak hanya kehilangan harta benda, mereka juga harus menghadapi tekanan psikologis dan trauma akibat bencana, terutama anak-anak.
Kelumpuhan Infrastruktur Vital: Jalan provinsi yang menjadi urat nadi transportasi terputus, jembatan kecil ambruk, fasilitas listrik dan jaringan air bersih rusak parah. Ini bukan hanya menghambat mobilitas, tetapi juga mengganggu akses terhadap kebutuhan dasar.
Pukulan Berat bagi Roda Ekonomi: Sektor perdagangan, pertanian, dan transportasi menjadi yang paling terpukul. Kegiatan ekonomi terhenti total, mengakibatkan kerugian finansial yang besar bagi individu dan daerah. Pemulihan ekonomi pasca-banjir seringkali memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Gangguan Sektor Pendidikan: Sekolah-sekolah terpaksa ditutup atau dialihkan ke sistem pembelajaran daring, yang tidak selalu efektif bagi semua kalangan. Ini menghambat proses belajar-mengajar dan dapat berdampak jangka panjang pada kualitas pendidikan anak-anak.
Ancaman Kesehatan Masyarakat: Genangan air kotor menjadi sarang ideal bagi berbagai bibit penyakit. Kasus diare, infeksi kulit, dan penyakit saluran pernapasan akut (ISPA) cenderung meningkat pasca-banjir, menambah beban bagi fasilitas kesehatan setempat.
Kerusakan Lingkungan Jangka Panjang: Selain erosi dan sedimentasi, banjir juga dapat mengubah bentang alam, merusak ekosistem sungai dan lahan pertanian, serta mengancam keanekaragaman hayati.
Respons dan Strategi Penanganan Pemerintah: Antara Cepat dan Jangka Panjang
Dalam menghadapi situasi darurat ini, pemerintah daerah dan pusat bergerak cepat untuk memberikan bantuan. Tim gabungan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Pemadam Kebakaran (Damkar), TNI, Polri, serta berbagai relawan dikerahkan untuk melakukan evakuasi korban, mendistribusikan logistik berupa makanan, air bersih, selimut, dan obat-obatan.
Di posko-posko pengungsian, layanan kesehatan darurat disiagakan untuk mencegah wabah penyakit pascabanjir. Namun, respons cepat saja tidak cukup. Pemerintah provinsi telah mengusulkan langkah-langkah penanganan jangka menengah dan panjang, seperti normalisasi sungai untuk memperdalam dan memperlebar alur air, serta penataan ulang tata ruang wilayah yang rawan banjir.
Yang tak kalah penting adalah evaluasi kembali kebijakan rehabilitasi hutan dan pengetatan izin alih fungsi lahan. Langkah ini krusial untuk mengembalikan fungsi lingkungan sebagai penopang alam, bukan sebagai sumber bencana.
Menatap Masa Depan: Tantangan dan Solusi Berkelanjutan
Untuk memutus siklus banjir yang terus berulang, Kalimantan Selatan membutuhkan solusi yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dan berkelanjutan. Tantangan yang dihadapi sangat besar, namun bukan berarti tidak ada harapan:
Pengembangan Infrastruktur Pencegahan Bencana: Diperlukan investasi besar untuk pembangunan dan penguatan tanggul, pembangunan kanal-kanal pengendali banjir, serta restorasi ekosistem hutan dan lahan basah yang berfungsi sebagai penampung air alami.
Penegakan Hukum dan Pengawasan Lingkungan: Aktivitas pertambangan dan perkebunan yang tidak sesuai standar lingkungan harus diawasi dengan ketat. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran alih fungsi lahan adalah kunci untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Edukasi dan Partisipasi Masyarakat: Peningkatan kesadaran dan edukasi mitigasi bencana harus menjadi prioritas, terutama bagi masyarakat yang tinggal di zona rawan. Keterlibatan aktif masyarakat dalam menjaga kebersihan sungai, menanam pohon, dan mengikuti program penataan permukiman akan sangat membantu.
Kolaborasi Multi-Pihak: Penanganan banjir membutuhkan sinergi dari berbagai pihak: pemerintah, sektor swasta, akademisi, LSM, dan masyarakat. Pendekatan holistik dan terpadu akan menghasilkan solusi yang lebih efektif dan berjangka panjang.
Kesimpulan: Panggilan untuk Aksi Nyata
Banjir di Kalimantan Selatan adalah pengingat keras betapa pentingnya pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Lebih dari sekadar fenomena cuaca ekstrem, bencana ini adalah cerminan dari kerusakan ekosistem dan tata ruang yang telah berlangsung bertahun-tahun. Jika tanpa langkah mitigasi yang serius, terencana, dan jangka panjang, termasuk restorasi lingkungan dan penataan ruang yang bijaksana, kemungkinan besar banjir serupa akan terus menjadi 'tamu' tahunan yang merenggut kehidupan dan harapan masyarakat. Ini adalah panggilan untuk aksi nyata, dari setiap individu hingga pemangku kebijakan, demi masa depan Kalimantan Selatan yang lebih aman dan lestari.
